PROBOLINGGO - Pesantren tidak pernah bosan diperbincangkan. Ada hal unik yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Uniknya, meski dahulu kala, Pesantren sebagai lembaga dakwah dan tafaqquh fiddin, saat ini pesantren beroperasi sebagai lembaga pendidikan yang menfasilitasi kebutuhan masyarakat dalam segala ilmu pengetahuan. Baik yang bersifat furudhul ainiyah maupun furudhul kifayah.
Sejak berdirinya Pesantren, mulai muncul persepsi yang bersinggungan. Sebab, pesantren ditengarahi sebagai institusi yang mengancam sebagian adat istiadat yang sudah berlaku. Padahal pesantren sebagai tali untuk memperkuat kegiatan keagamaan yang telah mentradisi dalam masyarakat. Tak lupa peran Pesantren sebagai lembaga yang bergerak untuk menanamkan nilai-nilai keislaman agar ajaran keislaman menyebar pada masyarakat, untuk dapat dilaksanakan sesuai dengan tuntunan alqur’an dan hadits.
Walisongo yang terkenal ramah dalam mentransformasikan ajaran agama mampu mendobrak tatanan budaya yang tidak searah dengan nuansa keislaman. Menjadikan hubungan kepada Allah seimbang dengan tatanan sosial yang harus dilaksanakan. Dengan menggunakan pendekatan kultural dan pendekatan structural, para pendiri mampu memasyarakatkan ajaran keislaman. Tidak pernah dalam sejarah, pesantren sebagai lembaga yang hanya mentranmisikan nilai ketuhanan saja, melainkan sebuah lembaga pendidikan yang membicarakan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Kehadiran pesantren mampu membahagiakan dan mensejahterkan masyarakat, karena dengan kehadiran pesantren masyarakat mampu terfasilitasi. Saat ini, banyak pesantren yang muncul secara tiba-tiba karena kepentingan holistic dan politik, sudah mulai keluar dari Garis Besar Haluan Pesantren (GBHP).
Terbukti, dari beberapa kegiatan dan progress report pesantren tidak sejalan dengan visi-misi pesantren. Keterjebakan pesantren terhadap persoalan-persoalan mikro tak lepas dari arah pesantren didirikan, sehingga rusaknya ruh pesantren itu adalah akibat pesantren abal-abal. Para pengelolahnyapun perlu dicurigai niati membuat pesantren.
Baca juga:
Realita dan Ambisi G-20 di Perubahan Iklim
|
Banyaknya kepentingan para politisi yang diselipkan pada cita-cita berdirinya sebagian pesantren tersebut akan melunturkan nilai kesakralan pesantren. Hal ini terkadang terabaikan. Dan mendirikan Pesantren begitu mudah, meski tidak memenuhi kriteria yang sudah ada. Kriteria pesantren yang ideal adalah adanya kiai, santri, asrama santri, kitab kuning dan masjid. Pertama: Kiai yang dimaksud adalah orang yang mempunyai kompetensi maksimal dalam menguasai ilmu agama juga ketrampilan dalam penguasai baca kitab kuning. Ini menurut sebagian orang menjadi syarat mutlak harus dimilikinya. Kedua: santri sebagai masyarakat pelajar harus ada sebagai objek pembelajaran. Ketiga: asrama santri, sebagai sarana tempat tinggal santri untuk bersosialisasi dan mengembangkan diri dalam belajar. Keempat: kitab kuning, yang membedakan antar lembaga pesantren dan lainnya adalah, adanya pembelajaran kitab kuning sebagai bahan ajar untuk memperdalami ilmu-ilmu agama. Kelima: masjid, ini disediakan sebagai sarana beribadah dalam rangka meningkatkan kepada tuhan.
Semua ini dimaksudkan agar mendirikan Pesantren tidak sama seperti mendirikan kos-kosan yang secara kuantitatif mampu menampung beberapa oaring yang mau menempatinya. Seyogyanya, pesantren sebagai media tak hanya memperjuangkan sikap spiritual, juga selalu memperjuangkan kemaslahatan masyarakat agar mereka hidup mandiri, sejahtera dan berkecukupan. Dahulu, kehadiran pesantren mampu memberikan harapan-harapan bagi masyarakat kelas menengah kebawah, dengan pemberdayaan-pemberdayaan yang menjadi bagian dari perjuangannya.
Baca juga:
Bahtsul Masail dan Kiai Zaini Mun'im
|
Namun era saat ini, oreintasi kepada pemberdayaan masyarakat sudah punah, meski disebagian pesantren masih tetap menjaga seutuhnya. Masih banyak Pesantren bertahan dalam aktifitas ritual yang menjadi kegiatan sehari-harinya, yang bernuansa kepesantrenan. Tak lagi, ikut andil dalam mengawal segala kegiatan yang bertujuan agar kesejahteraan masyarakat terangkat. Sepertinya, aktifitas mensejahterakan rakyat menjadi tidak urgen lagi, dampaknya banyak masyarakat yang menggadaikan agamanya demi mempertahankan hidup dalam menafkahi kebutuhan sehari-hari.
Ini bukan menjadi tanggung jawab pesantren, akan tetapi pesantren yang masyhur sebagai lembaga yang berjuang agar kepentingan ini terpenuhi juga menjadi cita-cita luhur presantren didirikan.
Gerakan sosial kemasyarakatan, menciptakan ekonomi kreatif dan mandiri, seakan menjadi tugas individu masyarakat, pesantren sebagai lembaga keagamaan, paradigma semacam ini merusak cita-cita mulia pesantren sebagai tempat nyaman bagi masyarakat yang kurang mampu.
Perlu ada ketetapan dari pemerintah, berkait berdirinya institusi pesantren. Sangat menghawatirkan, andaikan pesantren dibuat berdasarkan kebutuhan pasar saja, sementara di internalnya masih amburadul. Adanya sumbangan (Hibah), BOS, dan bantuan-bantuan yang lain harus sebanding dengan sertifikasi pesantren, agar pesantren tetap menjadi lembaga sacral dan di perhitungkan.
Pesantren harus lebih bermasyarakat, tidak hanya sibuk mengurus hal yang bersifat mikro namun aktifitas makro harus menjadi sasaran yang lebih menggairahkan.
Oleh : Ponirin Mika*
* Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton Probolinggo dan Anggota Community of Critical Social Research